Berlapang Dada Tanda Kemenangan Diri
Seorang anak manusia berjalan di tengah hutan belantara. Menengok kanan-kiri di sepanjang perjalanan terhampar pohon pinus. Ia menginjakkan kakinya di hutan belantara sedang “berada” di sebuah ruang yang luas. Ruang adalah sebagian dari sepertiga bumi yang kita injak. Menunjukkan tempat bersikukuh umat manusia.
Akan tetapi, ketika anak manusia itu berjalan dari kaki hutan ke puncak hutan, ia sedang menggunakan waktu. Waktu adalah putaran sekumpulan detik yang bergelembung membentuk menit dan jam, bahkan hari, bulan dan tahun. Anak manusia itu sedang mengatur gerak waktu agar sampai di tujuan sesuai rencana.
Oleh karena itu, kelegowoan atau berlapang dada bisa menjadi obat penenang bagi orang-orang yang gagal. Ketika manusia tidak sadar bahwa ada sejuta kemungkinan yang akan menimpa, ia akan menjadi manusia rapuh. Ketidakpercayaan diri, ketidakpuasan atas hasil, dan kemarahan akan terus menghinggapi hati. Akibatnya, ia menjadi manusia yang merasa dirinya sempurna dan tak bercacat sehingga tak pantas gagal.
Ruang dan waktu yang tercipta untuk kita – dengan sejuta kemungkinan – memang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Munculnya landasan teoritik dalam ilmu filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sebagainya merupakan buah dari penghargaan terhadap kemungkinan itu. Ketika menelaah manusia, muncul ilmu sosiologi karena ilmuwan mengakui kemungkinan bahwa manusia itu makhluk yang senang berinteraksi.
Demikian juga dengan selesainya pemilihan pemimpin di Jabar. Ada ruang dan waktu yang terisi dan tidak tersia-siakan. Nafas kita, kedip mata kita, langkah kaki kita, gerak badan kita; semuanya menyatu bergelayutan melakukan aktivitas politik selama beberapa bulan. Calon yang satu yakin akan memenanginya, tapi “hukum kemungkinan” terjadi. Ternyata calon yang tidak diunggulkan yang menang.
Namun, di tengah problem sosial yang terus menghitam, dengan kemiskinan yang mencapai lebih kurang sekitar 108 juta jiwa, bangsa kita tengah berada pada sisi tanduk kehancuran. Kesia-siaan meruang dan mewaktu ini – meminjam kisah Film Ayat-Ayat Cinta – laiknya si Maria yang berjuang melawan rasa sakit hingga ujung hayat.
Posisinya sama dengan rakyat Indonesia yang harus terus menderita, bahagia sesekali (ketika pemilihan kepala daerah saja); akhirnya harus merepresi cita-citanya meraih kesejahteraan. Sebab, hanya diingat kala kampanye saja. Kita – bangsa plural dan multikultural – sudah selayaknya bergerak untuk mengeluarkan diri dari vivere pericoloso (hidup yang menyerempet) dan berbahaya, berlari menuju ke kehidupan yang cerah-benderah.
Oleh karena itu, mari bergerak untuk pencerahan peradaban bangsa. Menjemput hari esok yang dipenuhi cahaya optimisme. Maka, kehidupan yang dihiasi kecemerlangan sisi kemanusiaan dan sisi spiritualitas ialah keniscayaan yang mesti kita hunjamkan dalam kesadaran terdalam sebagai bangsa besar.
Berlapang dada menerima kekalahan agar bisa menang pada kemungkinan-kemungkinan yang lain adalah tanda bangsa besar itu. Bangsa yang bisa memanfaatkan ruang dan waktu seapik dan serapih mungkin seperti yang dilakukan pendaki gunung di atas agar pendakiannya tak sia-sia. Ia tidak kecewa kendati apa yang diperkirakannya tak nyata terjadi.
Populer Minggu Ini
-
Membarukan Laku Manusia Sunda
KebudayaanAda dua hari libur nasional terpampang pada jejeran tanggal di kalender. Pada tanggal 1 Januari lal…
-
3 Manfaat Luar Biasa Membaca Buku Self-Improvement!
PendidikanPenulis Muhammad Tegar Yulianza Secara garis besar, tentu pembaca tahu bahwa buku terbagi menjadi d…
-
Menak Korup Melupakan Purwadaksi
PolitikPraktik korupsi di tubuh birokrat merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap purwadaksi, yak…
0 Komentar